Ada Apa dengan INDEF?

By Admin

Foto/ilustrasi Petani

Oleh: Alhe Laitte*

Belakangan ini Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) nampak sangat getol mengkritik Kementerian Pertanian (Kementan). Salah satu momentum teranyar adalah saat INDEF mengkritik klaim keberhasilan Kementan yang sebelumnya merilis data  Food Sustainability Index (FSI) yang dibuat oleh The Economist Intelligent Unit (EIU) dan Barilla Center for Food and Nutrition (BCFN). Menurut kementan, FSI merupakan buah dari kerja keras Indonesia selama ini karena mampu menyabet peringkat 21 negara dengan kebijakan pangan berkelanjutan terbaik di dunia.

Melalui direkturnya, Enny Sri Hartati (Direktur INDEF) mengatakan bahwa Kementan keliru menginterpretasikan data tersebut karena hasil dari survei tersebut justru menunjukkan hasil sebaliknya. Bantahan ini sekaligus mengklarifikasi pernyataan koleganya sendiri, Sugiono yang sebelumnya terlanjur wara-wiri di media karena memuji kinerja kementan.

Terlepas dari perbedaan pendapat antara sesama peneliti INDEF tersebut, saya menganggap bahwa bantahan tersebut juga tak lepas dari kekeliruan. Entah disengaja atau tidak, namun preposisi bantahannya seakan-akan terlalu dipaksakan sehingga terdengar cukup tendensius.

Mudah-mudahan saya yang salah, karena selama ini INDEF dianggap salah satu lembaga think thank ekonomi yang cukup terkemuka di Indonesia. Bagi saya, kesan tendensius ini tentunya berpotensi merusak kredibilitas dari lembaga ini di masa yang akan datang. Agar tidak terkesan menuduh, tulisan ini akan membedah satu persatu preposisi INDEF di media massa [1] agar publik memperoleh penilaian yang lebih obyektif.

Yang pertama, mbak Enny mengkritik interpretasi kementan karena sampel pada survey tersebut hanya terdiri dari 25 negara dan Indonesia berada di jajaran 5 negara terbawah dari survey tersebut. Menurut beliau fakta ini sebenarnya bukanlah hal yang membanggakan justru memprihatinkan. Pernyataan mbak Enny ini sebenarnya tidak salah, namun di sisi lain beliau seakan-akan menafikan keterwakilan populasi dunia karena tidak mensurvey seluruh negara di dunia.

Sebagai peneliti senior, Enni tentunya paham bahwa keterwakilan populasi tidak melulu harus didasarkan pada kuantitas negara yang disurvey. Dalam konteks isu kebijakan pangan berkelanjutan, kapasitas ekonomi dan jumlah penduduk tentunya jauh lebih penting ketimbang jumlah Negara. sampel negara-negara yang disurvey justru merepresentasikan 87% dari Ekonomi dunia dan 72% dari populasi dunia[2].

Secara tidak langsung dapat kita simpulkan bahwa meskipun tidak mensurvey seluruh Negara di dunia kapasitas ekonomi dan jumlah populasi dari 25 negara tersebut sudah cukup reliable untuk merepresentasekan populasi secara keseluruhan. Apakah interpretasi kementan sepenuhnya keliru? Saya kira tidak juga.

Yang kedua, Terkait perolehan rating Indonesia yang berada di rangking 21. Enni tidak obyektif dalam menilai pencapaian Indonesia karena hanya melihat overall score tanpa menjelaskan lebih jauh struktur pembobotan dari survey ini. Jika Enni cermat seharusnya beliau mengungkapkan bahwa overall score (nilai keseluruhan) ini diukur berdasarkan dari tiga pilar utama yaitu: nutritious challenges (tantangan nutrisi), sustainable agriculture (pertanian berkelanjutan) dan food loss and waste (kehilangan dan sisa makanan).

Memang benar bahwa overall score Indonesia hanya menempati posisi 21 dibawah Nigeria namun pada aspek yang lebih khusus agriculture peringkat Indonesia justru membanggakan. Pada konteks ini Indonesia berada di peringkat 16 (lebih baik 9 negara termasuk Amerika Serikat dan China). Lebih jauh lagi, beberapa indikator tertentu menunjukkan citra positif karena mengungguli negara-negara maju lainnya.

Indikator kualitas subsidi pertanian misalnya, Indonesia memperoleh point 1 (maksimal 3) lebih baik dibandingkan dengan Israel (0,0), Turki (0,0), Inggris (0,5), dan Amerika serikat (0,0). Contoh yang lain seperti persentase dari 3 tanaman terbaik dari total produktivitas Indonesia memperoleh point sebesar 62,08% yang jauh lebih tinggi dibandingkan cina (30,84), Perancis (46,77%), Amerika (44,63%) bahkan Jerman (34,78%) yang menempati rangking pertama.

Apakah kementan berlebihan jika menggunakan pilar sustainable agriculture sebagai keberhasilan?. Secara pribadi saya menganggapnya sebagai kewajaran, karena pilar sustainable agriculture merupakan domain dari kementan sedangkan yang lain tidak. Andai Enni bijak dalam mengintepretasi data ini tentunya beliau dapat menyimpulkan bahwa rendahnya rangking Indonesia secara keseluruhan lebih banyak diakibatkan pilar food loss and waste dan nutritious challenges Indonesia masih lemah. Jika kritik INDEF hanya menyasar skor keseluruhan maka tidak salah kiranya jika kita mengasumsikan bahwa kritikan tersebut cenderung tendensius.

Proposisi yang terakhir terkait kinerja dari kementan terkait kepuasan petani. Enny mengkritik kementan karena sering menggunakan survei INDEF sebagai bahan pencitraan. Survey ini menunjukkan bahwa 76,8% petani puas atas program/bantuan Kementan, sisanya sebesar 23,2% responden menyatakan tidak puas dan sangat tidak puas.

Enny kemudian menyatakan kementan keliru dalam menggunakan survey ini sebagai dasar klaim keberhasilannya. Data tersebut tidak bisa dijadikan ukuran keberhasilan karena menurut Enny, survei hanya dilakukan terhadap petani yang mendapat bantuan pemerintah. Petani yang mendapat bantuan saja tidak semuanya puas, apalagi petani yang tidak mendapatkan bantuan/tidak terdampak program.

Pernyataan tersebut lagi-lagi terkesan sangat tendensius. Seakan-akan Enny mengharuskan bahwa tingkat kepuasan petani penerima bantuan harus 100%. Sepanjang pengetahuan penulis (mudah-mudahan tidak salah) belum pernah ada survey seperti ini yang menunjukkan hasil sempurna. Logika seperti tentunya sangat berbahaya karena menempatkan Kementan pada posisi yang serba salah. Andai persentase petani yang puas sebesar 99%, dia tetap saja mengatakan bahwa masih saja ada petani yang tidak puas (walaupun jumlahnya cuma 1%).

Toh survey INDEF ini juga tidak menetapkan parameter tentang persentase ideal tingkat kepuasan petani. Tanpa parameter ini, berapapun tingkat kepuasannya selama melebihi nilai 50% maka dapat disimpulkan bahwa kinerja Kementan terbukti berhasil. Setidaknya kita dapat mengatakan bahwa yang puas jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak puas.

Selanjutnya, sebagai peneliti kita tidak dapat langsung menetapkan bahwa petani yang tidak menerima bantuan lebih banyak yang tidak puas hanya karena hasil penelitian INDEF ini menemukan bahwa yang menerima bantuan saja masih ada yang tidak puas. Seharusnya preposisi ini hanya dapat diposisikan sebagai sebuah hipotesis belaka yang harus dibuktikan kebenarannya melalui riset empiris. Jika pernyataan tersebut tidak berdasarkan riset empiris maka sekali lagi dengan dapat kita simpulkan bahwa pernyataan tersebut tendesius. (*)

Penulis adalah peneliti di Suropati Syndicate